Monosodium glutamate (MSG) atau sering dikenal di masyarakat sebagai vetsin
sampai sekarang masih saja dipertanyakan orang tentang keamananya untuk
kesehatan. Sebagian orang meski ragu-ragu, memilih tidak menggunakannya
daripada terjadi hal yang tidak diinginkan. Sebagian lagi mencoba mengurangi
pemakaiannya. Apa sebetulnya MSG itu dan sejauh mana keamanannya bagi tubuh
manusia?
"Wah, saya kalau disuruh masak tanpa vetsin, nyerah, deh," kata sebagian
ibu. Memasak tanpa vetsin memang membawa risiko masakan jadi tak sedap. Itu
sebabnya meski takut dan ragu-ragu akan efek sampingnya yang konon berbahaya
bagi tubuh, orang tetap menggunakannya. "Pokoknya nggak banyak-banyak, deh,"
kilah sebagian orang.
Kenapa pula mesti takut, pendapat orang yang lain. Toh nenek moyang kita
sudah memakannya sejak ratusan tahun yang lalu. Tak ada keluhan apa-apa,
tuh. Betul, vetsin sudah digunakan orang sejak 2.000 tahun yang lalu.
Penemunya adalah juru masak Jepang. Tentu saat itu bentuknya bukan bubuk
seperti sekarang ini. Mereka mengambil MSG dari sejenis rumput laut yang
disebut Laminaria japonica. Adalah orang Jepang juga yang kemudian punya ide
menguraikan asam glutamat dari rumput laut tersebut hingga pemakaiannya jadi
lebih mudah.
Sejak itu MSG atau vetsin ini sulit ditinggalkan orang. Rasa gurihnya
betul-betul menonjol hingga tanpa kehadirannya, rasanya seluruh makanan jadi
tak sedap. Di Indonesia sendiri MSG pada umumnya diproduksi dari hasil gula
tetes tebu (molase). Gula tetes yang banyak mengandung glutamin itu diproses
sedemikian rupa hingga mengeluarkan asam glutamat.
Nah, seberapa jauh asam glutamat ini berbahaya bagi tubuh? Terus-terang
masih sulit menjawabnya saat ini meski banyak ahli melalui penelitian
menemukan orang-orang yang rajin mengkonsumsi MSG menderita beberapa
penyakit. Antara lain, kanker.
DR. Muhilal, pakar gizi kita pernah menulis dalamBuletin Gizi beberapa tahun
yang lalu tentang akibat penggunaan MSG. Dalam tulisan itu dikatakan MSG
dapat mengakibatkan antara lain:
Chinese Restaurant Syndrome
Tahun 1968 dr. Ho Man Kwok menemukan penyakit pada pasiennya yang gejalanya
cukup unik. Leher dan dada panas, sesak napas, disertai pusing-pusing.
Pasien itu mengalami kondisi ini sehabis menyantap masakan cina di restoran.
Masakan cina memang dituding paling banyak menggunakan MSG. Karena itulah
gejala serupa yang dialami seseorang sehabis menyantap banyak MSG disebut
Chinese Restaurant Syndrome.
Bagaimana sampai MSG bisa menimbulkan gejala di atas, masih dugaan belaka
sampai saat ini. Tetapi diperkirakan penyebabnya adalah terjadinya
defisiensi vitamin B6 karena pembentukan alanin dari glutamat mengalami
hambatan ketika diserap. Konon menyantap 2 - 12 gram MSG sekali makan sudah
bisa menimbulkan gejala ini. Akibatnya memang tidak fatal betul karena dalam
2 jam Cinese Restaurant Syndrome sudah hilang.
Kerusakan Sel Jaringan Otak
Lain lagi hasil penelitan Olney di St. Louis. Tahun 1969 ia mengadakan
penelitian pada tikus putih muda. Tikus-tikus ini diberikan MSG sebanyak 0,5
- 4 mg per gram berat tubuhnya. Hasilnya tikus-tikus malang ini menderita
kerusakan jaringan otak. Namun penelitian selanjutnya menunjukkan pemberian
MSG yang dicampur dalam makanan tidak menunjukkan gejala kerusakan otak.
Kendati penelitiannya menunjukkan MSG aman asal dicampur dalam hidangan,
toh, Olney masih mengingatkan kita agar sesedikit mungkin menyantap MSG atau
menghindarinya sama sekali di usia muda.
Kanker
Bisa jadi pendapat MSG menimbulkan kanker betul adanya kalau kita melihatnya
dari sudut pandang berikut. Glutamat dapat membentuk pirolisis akibat
pemanasan dengan suhu tinggi dan dalam waktu lama. Nah, pirolisis ini
disebut-sebut sangat karsinogenik.
Padahal masakan protein lain yang tidak ditambah MSG pun, kata pakar, bisa
juga membentuk senyawa karsinogenik bila dipanaskan dengan suhu tinggi dan
dalam waktu yang lama. Karena asam amino penyusun protein, seperti
triptopan, penilalanin, lisin, dan metionin juga dapat mengalami pirolisis.
Nah, dari penelitian tadi jelas cara memasak amat berpengaruh.
sampai sekarang masih saja dipertanyakan orang tentang keamananya untuk
kesehatan. Sebagian orang meski ragu-ragu, memilih tidak menggunakannya
daripada terjadi hal yang tidak diinginkan. Sebagian lagi mencoba mengurangi
pemakaiannya. Apa sebetulnya MSG itu dan sejauh mana keamanannya bagi tubuh
manusia?
"Wah, saya kalau disuruh masak tanpa vetsin, nyerah, deh," kata sebagian
ibu. Memasak tanpa vetsin memang membawa risiko masakan jadi tak sedap. Itu
sebabnya meski takut dan ragu-ragu akan efek sampingnya yang konon berbahaya
bagi tubuh, orang tetap menggunakannya. "Pokoknya nggak banyak-banyak, deh,"
kilah sebagian orang.
Kenapa pula mesti takut, pendapat orang yang lain. Toh nenek moyang kita
sudah memakannya sejak ratusan tahun yang lalu. Tak ada keluhan apa-apa,
tuh. Betul, vetsin sudah digunakan orang sejak 2.000 tahun yang lalu.
Penemunya adalah juru masak Jepang. Tentu saat itu bentuknya bukan bubuk
seperti sekarang ini. Mereka mengambil MSG dari sejenis rumput laut yang
disebut Laminaria japonica. Adalah orang Jepang juga yang kemudian punya ide
menguraikan asam glutamat dari rumput laut tersebut hingga pemakaiannya jadi
lebih mudah.
Sejak itu MSG atau vetsin ini sulit ditinggalkan orang. Rasa gurihnya
betul-betul menonjol hingga tanpa kehadirannya, rasanya seluruh makanan jadi
tak sedap. Di Indonesia sendiri MSG pada umumnya diproduksi dari hasil gula
tetes tebu (molase). Gula tetes yang banyak mengandung glutamin itu diproses
sedemikian rupa hingga mengeluarkan asam glutamat.
Nah, seberapa jauh asam glutamat ini berbahaya bagi tubuh? Terus-terang
masih sulit menjawabnya saat ini meski banyak ahli melalui penelitian
menemukan orang-orang yang rajin mengkonsumsi MSG menderita beberapa
penyakit. Antara lain, kanker.
DR. Muhilal, pakar gizi kita pernah menulis dalamBuletin Gizi beberapa tahun
yang lalu tentang akibat penggunaan MSG. Dalam tulisan itu dikatakan MSG
dapat mengakibatkan antara lain:
Chinese Restaurant Syndrome
Tahun 1968 dr. Ho Man Kwok menemukan penyakit pada pasiennya yang gejalanya
cukup unik. Leher dan dada panas, sesak napas, disertai pusing-pusing.
Pasien itu mengalami kondisi ini sehabis menyantap masakan cina di restoran.
Masakan cina memang dituding paling banyak menggunakan MSG. Karena itulah
gejala serupa yang dialami seseorang sehabis menyantap banyak MSG disebut
Chinese Restaurant Syndrome.
Bagaimana sampai MSG bisa menimbulkan gejala di atas, masih dugaan belaka
sampai saat ini. Tetapi diperkirakan penyebabnya adalah terjadinya
defisiensi vitamin B6 karena pembentukan alanin dari glutamat mengalami
hambatan ketika diserap. Konon menyantap 2 - 12 gram MSG sekali makan sudah
bisa menimbulkan gejala ini. Akibatnya memang tidak fatal betul karena dalam
2 jam Cinese Restaurant Syndrome sudah hilang.
Kerusakan Sel Jaringan Otak
Lain lagi hasil penelitan Olney di St. Louis. Tahun 1969 ia mengadakan
penelitian pada tikus putih muda. Tikus-tikus ini diberikan MSG sebanyak 0,5
- 4 mg per gram berat tubuhnya. Hasilnya tikus-tikus malang ini menderita
kerusakan jaringan otak. Namun penelitian selanjutnya menunjukkan pemberian
MSG yang dicampur dalam makanan tidak menunjukkan gejala kerusakan otak.
Kendati penelitiannya menunjukkan MSG aman asal dicampur dalam hidangan,
toh, Olney masih mengingatkan kita agar sesedikit mungkin menyantap MSG atau
menghindarinya sama sekali di usia muda.
Kanker
Bisa jadi pendapat MSG menimbulkan kanker betul adanya kalau kita melihatnya
dari sudut pandang berikut. Glutamat dapat membentuk pirolisis akibat
pemanasan dengan suhu tinggi dan dalam waktu lama. Nah, pirolisis ini
disebut-sebut sangat karsinogenik.
Padahal masakan protein lain yang tidak ditambah MSG pun, kata pakar, bisa
juga membentuk senyawa karsinogenik bila dipanaskan dengan suhu tinggi dan
dalam waktu yang lama. Karena asam amino penyusun protein, seperti
triptopan, penilalanin, lisin, dan metionin juga dapat mengalami pirolisis.
Nah, dari penelitian tadi jelas cara memasak amat berpengaruh.
Kerusakan Retina
Pada MSG dosis normal memang tidak terlihat adanya akses glutamat yang
berlebihan ke retina. Tetapi meski masih dipertanyakan, penelitian
menunjukkan MSG yang berlebih dapat merusak retina.
Amankah bagi wanita hamil dan menyusui?
Hasil penelitian menunjukkan, glutamat hanya akan menembus placenta bila
kadarnya dalam darah ibu mencapai 40 - 50 kali lebih besar dari kadar
normal. Itu artinya mustahil kecuali glutamat diberikan secara intravena.
Sementara kalau ibu menyusui menyantap MSG 100 mg/kg berat badan, mungkin
kadar glutamat dalam darahnya akan naik, tetapi tidak dalam ASI. Padahal
menurut penelitian pernah dilakukan oleh Muhilal bersama rekan-rekannya dari
Puslitbang Gizi Bogor dan Direktorat Bina Gizi masyarakat Departemen
Kesehatan, pemakaian rata-rata orang Indonesia hanya 0,6 gram per hari.
Penelitian ini dilakukan tahun 1988 di tiga provinsi di Indonesia, yaitu
Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Jumlah ini masih jauh di
bawah konsumsi negara lain, lo. Taiwan,misalnya rata-rata 3 gr/hari, Korea
2,3 gr/hari, dan Jepang 1,6 gr/hari.
Namun penelitian Muhilal tidak sejalan dengan temuan Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI). Menurut penelitian YLKI, seperti dikutip Majalah
Intisari beberapa tahun lalu, satu mangkok mi bakso saja mengandung 1,84 -
1,90 gr MSG. Dalam semangkok mi pangsit atau mi goreng bahkan terdapat 2,90
- 3,40 gr MSG. YLKI juga menemukan penggunaan MSG pada beberapa merk makanan
camilan asin-gurih yang biasa dikonsumsi anak-anak (Intisari '92).
Menurut Muhilal, batasan aman yang pernah dikeluarkan oleh badan kesehatan
dunia WHO (World Health Organization)
0-120 mg/kg berat badan. Jadi, jika berat seseorang 50 kg, maka konsumsi MSG
yang aman menurut perhitungan tersebut 6 gr (kira-kira 2 sendok teh) per
hari. Rumus ini hanya berlaku pada orang dewasa. WHO tidak menyarankan
penggunaan MSG pada bayi di bawah 12 minggu.
Belakangan MSG malah digolongkan sebagai GRAS (Generally Recognized As Save)
atau secara umum dianggap aman. Hal ini juga didukung oleh US Food and Drugs
Administration (FDA), atau badan pengawas makanan dan obat-obatan (semacam
Ditjen POM) di Amerika yang menyatakan MSG aman. Tentu dalam batas konsumsi
yang wajar.
Sampai saat ini pun belum ditemukan kasus menonjol akibat mengkonsumsi MSG.
Bahkan Jepang yang konsumsi MSG-nya cukup tinggi pun sampai saat ini tidak
mengalami gangguan.
Jangan berlebihan
Kesimpulannya, MSG aman dikonsumsi sejauh tidak berlebihan. Harap diingat
juga dalam kecap maupun saus pun terdapat kandungan MSG. Jadi, bila Anda
sudah memakai saus atau kecap, pertimbangkan kembali, masih diperlukankah
penambahan MSG. Bagaimana gurihnya pun MSG dalam masakan kita, bukankah
kalau terlalu berlebihan, tidak enak lagi rasanya?
Meski dinilai aman, MSG hendaknya tidak diberikan bagi orang yang tengah
mengalami cidera otak karena stroke, terbentur, terluka, atau penyakit
syaraf. Dr. Dennis Choi, seorang asisten guru besar Neurobiologi pada
Universitas Stanford mengingatkan, konsumsi MSG menyebabkan penumpukan asam
glutamat pada jaringan sel otak yang bisa berakibat kelumpuhan.
smrmsm